Jika pernah mengunjungi Kota Yogyakarta, pastinya kamu sudah tidak asing dengan Keraton Yogyakarta dan Tugu Pal Putih/Golong-gilig yang lerbih familiar disebut Tugu Jogja. Selain keduanya, ada satu landmark Yogyakarta yang belum begitu dikenal oleh banyak orang. yaitu Panggung Krapyak. Tahukah kamu, ternyata antara Keraton Yogyakarta, Tugu Pal Putih, dan Panggung Krapyak terletak pada satu garis lurus?. Ketiga landmark ini erat kaitannya dengan Sumbu Filosofi Jogja.
Apa itu Sumbu Filosofi Yogyakarta?
Ilustrasi Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sumbu filosofi Jogja adalah sebuah sumbu imajiner berupa garis lurus yang membentang dari utara hingga selatan dengan Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya. Gunung Merapi menjadi sisi paling utara, sedangkan Pantai Selatan sebagai sisi paling selatan wilayah Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwana I juga mendirikan Tugu Golong-gilig/Pal Putih di sisi utara dan Panggung Krapyak di sisi selatan Keraton Yogyakarta.
Sumbu filosofi merupakan sebuah konsep yang dirancang oleh Sultan Hamengku Buwana I untuk membangun Yogyakarta dengan landasan filosofi yang sangat tinggi. Sultan Hamengku Buwana I menata Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya.
Mengapa Sumbu Filosofi Yogyakarta disebut sumbu imajiner?
Bentang Alam Sumbu Imajiner
Berlawanan dengan anggapan umum, sebenarnya Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi tidak persis berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu, poros bentang alam ketiganya disebut sebagai sumbu imajiner.
Dikutip dari laman kratonjogja.id, sumbu nyata yang membentang dari utara hingga selatan yang berada dalam satu garis lurus adalah jalan yang menghubungkan Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Golong-gilig/Pal Putih.
Apa makna Sumbu Filosofi Yogyakarta?
Sumbu filosofis Yogyakarta menjadi satu-satunya yang ada di dunia dalam hal penataan tata kota dengan nilai universal kehidupan. Konsep tata ruang Yogyakarta dihasilkan dari proses menep atau perjalanan hidup Sultan Hamengku Buwono I yang juga dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Konsep-konsep tersebut diejawantahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi sebagai poros. Lokasi pembangunannya juga dipilih dekat dengan sumber mata air Umbul Pacethokan. Kontur tanah wilayah bangunan keraton lebih tinggi, seperti di atas punggung kura-kura, dengan diapit oleh 6 sungai, 3 di timur, dan 3 di barat, sehingga bebas dari banjir. Selain sebagai perindang, aneka vegetasi juga ditanam di seputar keraton sebagai media menambatkan makna kehidupan.
Secara simbolis, poros imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (ether). Demikian juga tiga unsur yang menjadikan kehidupan (fisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis sumbu imajiner tersebut. Sultan Hamengku Buwana yang menyandang gelar Sayidin Panatagama Kalifatullah konsep filosofi sumbu imajiner yang Hinduistis ini kemudian mengubahnya menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Hamêmayu Hayuning Bawana”, dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”.
Tugu Golong-gilig
Tugu Golong-gilig dan Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Bagian atas dari Tugu Golong-gilig berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) serta berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih. Tugu Golong Gilig melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).
Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang utama (point of view) sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara. Hubungan filosofi antara Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak dan sebaliknya yang bersifat Hinduistis ini oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I diubah menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Sangkan Paraning Dumadi”
Panggung Krapyak
Filosofi dari Panggung Krapyak ke utara menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (sangkaning dumadi). Alun-alun Selatan menggambarkan manusia yang telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akhil baligh.
Sebaliknya dari Tugu Golong-Gilig/Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq (paraning dumadi). Golong gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa yang dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang negatif).
Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta yang berada di titik tengah menggambarkan kehidupan manusia yang telah mapan-dewasa dan akhir filosofi paraning dumadi yaitu kehidupan langgeng di alam akhirat setelah kematian yang disimbolkan dengan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa yang tak pernah padam sejak Sultan Hamengku Buwana I.